Jumat, 11 November 2011

PERTEMUAN KE EMPAT


PERTEMUAN KEEMPAT

MENYUSUN KOMPETENSI DASAR

A.    Kompetensi Pendidikan

K
ompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai dasar dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasan berpikir dan bertindak (E. Mulyasa. : 2003 ; 37-38). Sedangkan Mc. Ashan mengemukakan bahwa kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, psikomotorik dengan sebaik-baiknya(E. Mulyasa; 2003 : 38). Depdiknas mendefinisikan kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang diwujudkan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak (Departemen Pendidikan Nasional ; 2004).
Dari adanya beberapa pengertian kompetensi di atas, dapat disimpulkan bahwa kompetensi merupakan kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks yang melibatkan ketiga ranah (kognitif, afektif, dan psikomotorik). Kebiasaan berfikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai dasar untuk melakukan sesuatu.
Melengkapi beberapa pengertian yang dikemukakan sebelumnya mengenai kompetensi, Stephn P. Becker dan Jack Gordon mengemukakan beberapa unsur atau elemen yang terkandung dalam konsep kompetensi diantaranya (Abdul Majid ; 2004 : 51-52 ).
1. Pengetahuan (knowledge): kesadaran dibidang kognitif. Misalnya: seorang guru mengetahui bagaimana melaksanakan kegiatan identifikasi, penyuluhan dan proses pembelajaran terhadap warga belajar.
2. Pengertian (understanding): yaitu kedalaman kognitif dan afektif yang dimiliki oleh siswa, Misalnya: seorang guru yang akan melaksanakan kegiatan harus memiliki pemahaman yang baik tentang keadaan dan kondisi warga belajar di lapangan sehingga dapat melaksanakan program kegiatan secara baik dan afektif.
3. Keterampilan (skill) adalah kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk melakukan suatu tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Misalnya: kemampuan yang dimiliki oleh guru untuk menyusun alat peraga pendidikan secara sederhana.
4. Nilai (value) adalah suatu norma atau standar yang telah diyakini atau secara psikologis telah menyatu dalam diri individu.
5. Minat (interest) adalah keadaan yang mendasari motivasi individu, keinginan yang berkelanjutan, dan orientasi psikologis. Misalnya: guru yang baik selalu tertarik dengan warga belajar dalam hal membina dan memotivasi supaya dapat belajar sebagaimana yang diharapkan.
Mempersiapkan peserta didik agar memiliki berbagai kompetensi tersebut, merupakan upaya untuk menyiapkan peserta didik agar berkemampuan intelektual, emosional, spiritual dan sosial yang bermutu tinggi. Dengan demikian, kurikulum yang dikembangkan untuk mencapai kompetensi atau hasil belajar yang memuaskan memerlukan cara pembelajaran yang efektif.


B.     Kompetesi Basis Pendidikan Indonesia

U
ndang-Undang (UU) Republik Indonesia (RI) nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab II Pasal 3 menjelaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bemartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Standar kompetensi lulusan (SKL) suatu jenjang pendidikan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional mencakup komponen ketakwaan, akhlak, pengetahuan, ketrampilan, kecakapan, kemandirian, kreativitas, kesehatan, dan kewarganegaraan. Semua komponen pada tujuan pendidikan nasional harus tecermin pada kurikulum dan sistem pembelajaran pada semua jenjang pendidikan. Sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, tugas sekolah adalah mengembangkan potensi peserta didik secara optimal menjadi kemampuan untuk hidup di masyarakat dan ikut menyejahterakan masyarakat. Lulusan suatu jenjang pendidikan harus memiliki pengetahuan dan keterampilan serta berperilaku yang baik.
Untuk itu peserta didik harus mampu menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki sesuai dengan standar yang ditetapkan. SKL merupakan bagian dari upaya peningkatan mutu pendidikan yang diarahkan untuk pengembangan potensi peserta didik sesuai dengan perkembangan ilmu, teknologi, seni, serta pergeseran paradigma pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan peserta didik.
SKL adalah satu dari 8 standar nasional pendidikan (SNP), yang merupakan kompetensi lulusan minimal yang berlaku di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan adanya SKL, kita memiliki patok mutu, baik evaluasi bersifat mikro seperti kualitas proses dan kualitas produk pembelajaran, maupun evaluasi makro seperti efektivitas dan efisiensi program pendidikan, sehingga ke depan pendidikan kita akan melahirkan standar mutu yang dapat dipertanggungjawabkan pada setiap jalur, jenis dan jenjang pendidikan. SKL mata pelajaran selanjutnya dijabarkan ke dalam SK dan KD.
KD atau Kompetensi Dasar yang menjadi bahasan pokok tulisan ini, berada secara include dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Keberadaan KD pada RPP sangat beralasan, karena sebenarnya KD merupakan bentuk rincian dari Standar Kompetensi (SK) yang bersifat umum. Kata kerja operasional yang terdapat pada KD sangat cocok untuk memudahkan sistem pembelajaran.

C.     Apakah RPP itu?

B
erdasarkan PP 19 Tahun 2005 Pasal 20 dinyatakan bahwa: ”Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar”.
Sesuai dengan Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses dijelaskan bahwa RPP dijabarkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan belajar peserta didik dalam upaya mencapai KD. Setiap guru pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

D.    Pengertian Kompetensi Dasar

K
ompetensi Dasar (KD) adalah sejumlah kemampuan yang harus dikuasai peserta didik dalam mata pelajaran tertentu sebagai rujukan penyusunan indikator kompetensi dalam suatu pelajaran(Muhfida ; 2010).  Sedangkan secara fungsi Kompetensi Dasar (KD), merupakan penjabaran SK peserta didik yang cakupan materinya lebih sempit dibanding dengan SK peserta didik.
Pengertian KD sebagaimana pengertian dan fungsinya di atas, menurut hemat penulis tidaklah perlu dijabarkan panjang lebar. Yang lebih penting adalah bagaimana menyusun langkah-langkah menganalisis dan mengurutkan SK menjadi KD.

E.     Langkah-langkah menganalisis dan mengurutkan SK menjadi KD

M
engurutkan KD sesuai dengan keterkaitan baik secara prosedur maupun hierarkis.Dick & Carey (1978: 25) membedakan dua pendekatan pokok dalam analisis dan urutan SK di samping pendekatan yang ketiga yakni gabungan antara kedua pendekatan pokok tersebut. Dua pendekatan dimaksud adalah pertama pendekatan prosedural, dan kedua pendekatan hierarkis (berjenjang). Sedangkan gabungan antara kedua pendekatan tersebut dinamakan pendekatan kombinasi.
1.      Pendekatan Prosedural
Pendekatan prosedural (procedural approach) dipakai bila SK yang harus dikuasai berupa serangkaian langkah-langkah secara urut dalam mengerjakan suatu tugas pembelajaran. Diagram umum pendekatan prosedural adalah sebagai berikut :
Contoh dalam pelajaran Ilmu Sosial Terpadu (IST) ada beberapa SK yang diharapkan dapat dipelajari secara berurutan. Guru diharapkan dapat menyajikan mana yang akan didahulukan. Misalnya kompetensi; (1) Mengidentifikasi konsep-konsep yang membangun IST, (2) Mendeskripsikan hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungannya, dan (3) Mendeskripsikan perubahan sosial budaya masyarakat. Dari ketiga kompetensi tersebut, maka kompetensi untuk mengidentifikasi konsep-konsep yang membangun IST harus paling dahulu dipelajari, setelah itu baru mempelajari dua kompetensi berikutnya. Di antara kedua kompetensi berikutnya maka penguasaan terhadap kompetensi mendeskripsikan hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungannya lebih didahulukan agar peserta didik dengan mudah mendeskripsikan perubahan sosial budaya masyarakat, mengingat perubahan yang terjadi justru sebagai salah satu akibat hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya.
Beberapa hal yang perlu dicatat dari contoh tersebut:
o    peserta didik harus menguasai SK tersebut secara berurutan.
o    Masing-masing SK dapat diajarkan secara terpisah (independent)
o    Hasil (output) dari setiap langkah merupakan masukan (input) untuk langkah berikutnya.

2.      Pendekatan Hierarkis
Pendekatan hierarkis menunjukkan hubungan yang bersifat subordinatif antara beberapa SK yang ingin dicapai. Dengan demikian ada yang mendahului dan ada yang kemudian. SK yang mendahului merupakan prasyarat bagi SK berikutnya.
Untuk mengidentifikasi beberapa SK yang harus dipelajari lebih dulu agar peserta didik dapat mencapai SK yang lebih tinggi dilakukan dengan jalan mengajukan pertanyaan “Apakah yang harus sudah dikuasai oleh peserta didik, agar dengan pengajaran yang seminimal mungkin dapat diketahui SK yang diperlukan sebelum peserta didik dapat menguasai SK berikutnya?”
Untuk memperjelas, berikut disajikan diagram analisis SK menurut pendekatan hierarkis dalam mata pelajaran matematika.

F.  Daftar Pustaka

Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, Konsep Dan Implementasi Kurikulum 2004 , ( Bandung : PT Remaja Rosda Karya,2004 )
Departemen Pendidikan Nasional, Kurikulum 2004, Kerangka dasar. (Jakarta: Depdiknas, 2004):
E. Mulyasa. Kurkulum Berbasis Kompetensi, konsep ,karaktrristik, dan implementasi, ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2003 ).
Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses
PP 19 Tahun 2005 Pasal 20
Undang-Undang (UU) Republik Indonesia (RI) nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
























PENILAIAN ACUAN PATOKAN

A.    Pemikiran Penggunaan Penilaian Acuan Patokan

P
engolahan nilai-nilai dapat dilakukan dengan mengacu kepada criteria atau patokan tertentu. Dalam hal ini dikenal dengan adanya dua patokan yang umum dipakai. Yaitu penilaian acuan patokan (criterion referenced evaluation) dan penilaian acuan norma (norm referenced evaluation).
Suatu penilaian disebut PAP jika dalam melakukan penilaian itu kita mengacu kepada suatu criteria pencapaian tujuan (instruksional) yang telah dirumuskan sebelumnya. Nilai-nilai yang diperoleh siswa dihubungkan dengan tingkat pencapaian penguasaan (mastery) siswa tentang materi pengajaran sesuai dengan tujuan (instruksional) yang telah ditetapkan(Sukardi : 2008).
PAP pada dasarnya berarti penilain yang membandingkan hasil belajar mahasiswa terhadap suatu patokan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pengertian ini menunjukkan bahwa sebelum usaha penilaian dilakukan terlebih dahulu harus ditetapkan patokan yang akan dipakai untuk membandingkan angka-angka hasil pengukuran agar hasil itu mempunyai arti tertentu. Dengan demikian patokan ini tidak dicari-cari di tempat lain dan pula tidak dicari di dalam sekelompok hasil pengukuran sebagaimana dilakukan pada PAN (Joesmani, : 1988).
Patokan yang telah disepakati terlebih dahulu itu biasanya disebut “Tingkat Penguasaan Minimum”. Mahasiswa yang dapat mencapai atau bahkan melampai batas ini dinilai “lulus” dan belum mencapainya nilai “tidak lulus” mereka yang lulus ini diperkenankan menempuh pelajar yang lebih tinggi, sedangkan yang belum lulus diminta memantapkan lagi kegiatan belajarnya sehingga mencapai “batas lulus” itu. (©2004 Digitized by USU digital library).
Patokan yang dipakai untuk kelompok mahasiswa yang mana sama ini pengertian yang sama. Dengan patokan yang sama ini pengertian yang sama untuk hasil pengukuran yang diperoleh dari waktu ke waktu oleh kelompok yang sama ataupun berbeda-beda dapat dipertahankan.
Yang menjadi hambatan dalam penggunaan PAP adalah sukarnya menetapkan patokan yang benar-benar tuntas.


B.     Pengertian Penilaian acuan patokan

P
enilaian acuan patokan (PAP) biasanya disebut juga criterion evaluation merupakan pengukuran yang menggunakan acuan yang berbeda. Dalam pengukuran ini siswa dikomperasikan dengan kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam tujuan instruksional, bukan dengan penampilan siswa yang lain. Keberhasilan dalam prosedur acuan patokan tegantung pada penguasaaan materi atas kriteria yang telah dijabarkan dalam item-item pertanyaan guna mendukung tujuan instruksional (Sukardi. : 1986).

C.    Hal-hal yang diperlukan dalam  Penilaian Acuan Patokan

1.    Adanya tujuan evaluasi spesifik sebagai penentuan focus item yang diperlukan. Tujuan tersebut termasuk tujuan intruksional umum dan tujuan intruksional khusu.
2.    Sample yang relevan, digunakan sebagai subjek yang hendak dijadikan sasaran evaluasi. Sample yang diukur mempresentasikan populasi siwa yang hendak menjadi target akhir pengambilan keputusan.
3.    adanya item-item yang disusun dalam satu tes dengan menggunakan aturan dasar penulisan instrument.

D.    Penekanan-penekanan dalam Penilaian Acuan Patokan

1.    Penilaian acuan patokan  merupakan tipe pengukuran yang berfokus pada penentuan domain tugas belajar dengan tingkat kesulitan sejumlah item sesuai dengan tugas pembelajaran. 
2.    Menekankan penggambaran tugas apa yang telah dipelajari oleh para siswa 
3.    Item kesulitan sesuai dengan tugas pembelajaran, tanpa menhilangkan item atau soal yang memiliki tingkat kesulitan rendah
4.    Lebih banyak digunakan, khususnya untuk kelas dengan tugas pembelajaran dengan konsep atau penguasaan materi belajar.
Daftar Pustaka

Joesmani, Pengukuran dan Evaluasi Dalam Pengajaran Depdikbud Dirjen Pendidikan Tinggi, Proyek Pengembangan, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Jakarta, 1988.
MS, Sukardi. Ph.D, Evaluasi Pendidikan Prinsip dan Operasionalnya, ( yogyakarta: PT.Bumi Aksara, 2008
Sukardi. E, dan Maramis. W. F. Penilaian Keberhasilan Belajar,Jakarta: Erlangga:University Press,1986.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar